Definisi Teater
Teater berasal dari kata Yunani,
“theatereatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater
diartikan sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan
demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak,
ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat,
dan lain sebagainya. Teater dapat dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas
naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain
tokohg-tokohgan, dan lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi
pembentukan strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual.
Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur
teatrikal dan bermakna filosofis.
Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa
terjadi. Tetapi batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang sebagai
berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun
boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton,
serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993).
Kata “drama” juga dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM),
sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” dan “drama” bersandingan
sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan
drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon atau karya sastra
(Bakdi Soemanto, 2001).
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan
langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon atau naskah
cerita yang akan dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama atau
drama yang dipentaskan di atas panggung dan disaksikan oleh penonton. Jika
“drama” adalah lakon dan “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan
bagian atau salah satu unsur dari “teater”.
Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan
kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindaktanduk pemain di atas
pentas disebut acting. Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran” yang
berarti, berbuat, berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para
pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain wanita disebut actress
(Harymawan, 1993).
Meskipun istilah teater sekarang lebih umum digunakan tetapi sebelum itu
istilah drama lebih populer sehingga pertunjukan teater di atas panggung
disebut sebagai pentas drama. Hal ini menandakan digunakannya naskah lakon yang
biasa disebut sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di Indonesia,
pada tahun 1920-an, belum muncul istilah teater. Yang ada adalah sandiwara atau
tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan
oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari
bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, dan “wara” atau “warah” yang berarti,
“pengajaran”. Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yang
dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993).
Rombongan teater pada masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita
yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman Jepang dan permulaan Zaman
Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer. Istilah teater bagi
masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad,
2006).
Keterikatan antara teater dan drama sangat kuat. Teater tidak mungkin
dipentaskan tanpa lakon (drama). Oleh karena itu pula dramaturgi menjadi bagian
penting dari seni teater. Dramaturgi berasal dari bahasa Inggris dramaturgy
yang berarti seni atau tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk
teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi membahas proses penciptaan
teater mulai dari penulisan naskah hingga pementasannya. Harymawan (1993)
menyebutkan tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan
formula dramaturgi. Formula ini disebut dengan fromula 4 M yang terdiri dari,
menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan menyaksikan.
M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang karena
menemukan sesuatu gagasan yang merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena
perhatian ditujukan pada suatu persitiwa baik yang disaksikan, didengar maupun
dibaca dari literatur tertentu. Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian
ditujukan pada kehidupan seseorang. Gagasan atau daya cipta tersebut kemudian
diwujudkan ke dalam besaran cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah
lakon untuk dipentaskan.
M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau pemilihan situasi yang harus
dihidupkan begi keseluruhan lakon oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi
merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi ini, pengarang mulai
mengatur dan menyusun kembali situasi dan peristiwa menjadi pola lakon
tertentu. Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan
untuk digambarkan, suasana hati para
tokoh untuk diciptakan, dan semua unsur pembentuk lakon untuk dikomunikasikan.
M3 atau memainkan, merupakan proses para aktor memainkan kisah lakon di atas
pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan
pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini melibatkan banyak orang
yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide dan gagasan pengarang, aktor
sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai orang yang mewujudkan ide dan
gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan.
M4 atau menyaksikan, merupakan proses penerimaan dan penyerapan informasi atau
pesan yang disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para penonton.
Pementasan teater dapat dikatakan berhasil jika pesan yang hendak disampaikan
dapat diterima dengan baik oleh penonton. Penonton pergi menyaksikan
pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan atas kebutuhan dan
keinginannya
terhadap tontonan tersebut.
Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas merupakan tahap mendasar yang
harus dipahami dan dilakukan oleh para pelaku teater. Jika salah satu tahap dan
unsur yang ada dalam setiap tahapan diabaikan, maka pertunjukan yang digelar
bisa dipastikan kurang sempurna. Oleh karena itu, pemahaman dasar formula
dramaturgi dapat dijadikan acuan proses penciptaan karya seni teater.